Anak Pintar Membaca, dengan melakukan Hal ini
Anak pintar membaca di usia dini kadang kala diasosiasikan sebagai anak yang pintar, begitu pula sebaliknya. Asumsi ini tidak jarang membuat orang tua memaksa anak untuk belajar membaca sedini mungkin.
Asumsi ini diperkuat dengan norma sosial untuk memasukkan anak ke lembaga prasekolah (pre-school) seperti PAUD maupun kelompok bermain sedini mungkin, bahkan ketika anak masih berusia di bawah 3 tahun alias batita. Tak jarang pula, lembaga prasekolah itu menyertakan ‘belajar membaca’ sebagai salah satu kurikulumnya. Tujuannya, ketika anak sudah sampai pada usia sekolah dasar (7 tahun), anak sudah bisa membaca sehingga tidak ketinggalan dengan teman-temannya yang lain.
Benarkah dengan pola ajar yang demikian?
Kapan Waktu yang Tepat bagi Anak untuk Belajar Membaca?
1. Tidak usah terburu-buru
Psikolog anak dari Universitas Indonesia, Ratih Zuhaqqi, M. Psi, membantah anggapan yang menyatakan semakin dini anak pintar membaca, semakin tinggi tingkat intelejensianya. Menurutnya, tidak akan ada bedanya antara anak yang bisa membaca pada umur 4 tahun, misalnya, dengan anak bisa membaca di usia 6 tahun. Anak yang sudah bisa membaca di usia 4 tahun tidak lantas membuatnya pasti lebih pintar dari kawan-kawannya yang sebaya atau lebih tua dengan kondisi belum bisa membaca.
“Anak belum memiliki kesiapan mental, walau secara daya pikir, anak usia 3 tahun pun bisa untuk diajari membaca dengan penuh semangat. Idealnya, kembalikan hak anak kepada situasi yang sesuai dengan kondisi psikis anak, yaitu memang seharusnya membaca itu diajarkan di kelas 1 SD (7 tahun),” kata Ratih.
Hal ini pun diamini oleh pemerintah yang memang tidak mewajibkan bisa membaca sebagai syarat untuk masuk SD. Sedangkan perlu atau tidak anak mengikuti kegiatan prasekolah bisa disesuaikan dengan kondisi dan keadaan, seperti lingkungan tempat anak itu tinggal, maupun ada atau tidaknya seseorang yang memberikan stimulasi.
Anak yang tinggal di lingkungan yang banyak anak kecil seusianya dan mereka bisa bermain tidak perlu ikut prasekolah seperti kelompok bermain atau TK A. Sementara, lanjut Ratih, TK B agak penting karena cenderung memberi pengenalan dan persiapan untuk memasuki SD.
“Saat ini banyak ditemukan kasus efek dari anak diperkenalkan calistung (membaca, menulis, berhitung) pada usia dini, misalnya anak mogok sekolah, cepat merasa bosan, dan kurang konsentrasi belajar,” kata Ratih.
Akademi Dokter Anak Amerika (AAP) juga menyatakan demikian. Menurut jurnal yang mereka keluarkan, anak yang belajar membaca sebelum usia 6 atau 7 tahun bisa mengalami kebosanan akademik, yakni tidak semangat belajar secara keseluruhan di sekolah, terlebih jika proses belajar membaca yang mereka lalui adalah hasil paksaan orang tua atau lingkungan.
Sebaliknya, anak yang belajar membaca di usia yang tepat, yakni sekitar 6 atau 7 tahun, bisa dengan cepat mengejar ketertinggalannya dalam membaca, paling lambat di kelas 2 atau 3 SD. Anak bisa lebih cepat belajar membaca jika mendapat pendampingan yang tepat dari orang tua.
Kasus yang lebih ekstrem pernah terjadi di Amerika Serikat pada 2011 lalu. Ketika itu, sebuah organisasi kecil di Philadelphia menyatakan bahwa proses belajar membaca bisa dimulai bahkan sejak bayi. Caranya ialah dengan memperlihatkan flash card kepada bayi kemudian orang tua menyebut kata atau gambar yang terpampang di flash card tersebut. Organisasi itu bahkan mempublikasikan buku terbitan mereka sendiri yang diberi judul ‘How to Teach Your Baby to Read’.
Ini tentu langsung memercik kontroversi di kalangan pemerhati anak. Mereka percaya bahwa bayi atau anak di bawah usia 3 tahun yang bisa melafalkan kata-kata tertentu merupakan respon terhadap gambar atau warna yang ditunjukkan dan bukan mencerminkan kemampuan mereka untuk membaca.
2. Otak kanan
Pakar anak dari Amerika Serikat, Susan R. Johnson, MD., menyebut bahwa anak pertama kali belajar membaca berdasarkan huruf yang diasosiasikan kepada gambar tertentu. Misalnya, huruf ‘O’ yang berbentuk seperti donat atau huruf ‘L’ yang seperti buntut kucing, dan sebagainya.
Hal ini dikarenakan otak kanan anaklah yang berkembang terlebih dahulu di mana otak kanan memang berhubungan dengan sifat visual anak, seperti menggambar, mewarnai, dan segala hal yang berhubungan dengan dunia seni. Otak kanan ini mengalami puncak perkembangan saat usia anak menginjak 4 hingga 7 tahun sehingga usia itu dinilai sebagai waktu yang tepat bagi anak belajar membaca melalui permainan gambar atau warna.
Belajar membaca dengan mengandalkan otak kanan ini membuat anak bisa melafalkan kata tertentu dengan fokus pada huruf pertama dan terakhir saja. Misal, anak akan bisa mengatakan ‘cenala’ padahal kata yang dimaksudnya adalah ‘celana’.
Anak juga akan cepat lelah ketika belajar membaca dengan mengandalkan otak kanan ini karena otak kanan memang dirancang bukan untuk anak belajar membaca, tapi lebih kepada mengingat bentuk-bentuk visual. Anak hanya akan bisa melafal kata-kata pendek selama belajar membaca dengan otak kanan, jadi ibu harus bersabar dalam mengajarkan si kecil membaca di fase ini ya.
Sebetulnya, belajar membaca, menulis, dan berhitung merupakan proses yang terjadi di otak kiri anak. Otak kiri merupakan bagian otak yang memproses segala bentuk logika, termasuk belajar matematika. Namun demikian, otak kiri baru berkembang ketika anak usia 7 tahun, bahkan mungkin otak kiri anak laki-laki cenderung berkembang lebih lambat, yakni pada usia 11 tahun.
Ketika otak kiri anak sudah berkembang, anak bisa belajar pintar membaca dengan lebih komprehensif. Mereka bisa mengucapkan kata per kata sesuai urutan huruf dari awal hingga akhir serta mengeja huruf dengan lebih baik.
Atas alasan itulah, para ahli berpendapat bahwa usia 7 tahun merupakan saat yang tepat untuk anak belajar membaca karena otak kirinya sudah matang untuk dilatih. Lembaga formal seperti sekolah pun dinilai sebagai tempat yang tepat untuk menciptakan atmosfer belajar membaca yang menyenangkan bagi anak.
5 Tanda Anak Pintar Membaca Membaca
Sebagian besar peneliti anak setuju bahwa membuat anak belajar membaca terlalu dini menghadirkan lebih banyak kerugian dibanding manfaat untuk anak. Oleh karena itu, penting bagi orang tua melihat 5 tanda-tanda kesiapan anak untuk mulai dilatih belajar membaca.
1. Menunjukkan minat membaca
Tanda awal anak yang siap belajar membaca ditandai dengan sikapnya yang tertarik dengan buku atau tulisan apapun. Minat belajar membaca ini bisa tercipta dengan sendirinya, bisa juga ditanamkan oleh orang tua melalui pengenalan kegiatan membaca.
Ibu bisa menstimulasi anak untuk belajar membaca dengan membelikannya buku cerita, blok atau magnet berbentuk huruf. Namun, yang terpenting ialah adanya keterlibatan orang tua untuk mendampingi anak belajar membaca.
Jika anak belum memperlihatkan minat untuk belajar membaca, ibu bisa menunda kegiatan itu. Mengajarkan anak untuk membaca memang butuh kesabaran dan yang terpenting, jangan membandingkan kemampuan anak ibu dengan teman-teman sebayanya ya karena setiap anak memiliki milestone-nya sendiri-sendiri.
2. Mengingat dan Menceritakan Kembali
Saat ibu membacakan cerita kepada anak, sesekali berikan pertanyaan mengenai cerita tersebut. Jika anak bisa menjawab, bisa jadi ia sudah siap untuk belajar membaca.
Selain itu, anak juga bisa menceritakan kembali kisah yang sudah ibu ceritakan berkali-kali. Karena dengan demikian, anak memberi sinyal bahwa ia sudah bisa diajari untuk berkonsentrasi dan menyimak hal-hal yang dibacakan kepadanya.
3. Peka terhadap Buku dan Media Cetak Lainnya
Peka terhadap buku bisa terlihat ketika anak tidak canggung untuk menunjukkan mana sampul depan dan belakang buku. Anak juga bisa membedakan mana gambar dan huruf di dalam buku meski belum bisa membacanya.
Sedangkan peka terhadap media cetak lainnya bisa berarti lebih luas lagi. Misalnya ketika anak melihat kemasan sereal, ia bisa membedakan gambar, tulisan, warna, huruf pertama dari merk sereal, maupun berbagai tanda baca yang ada.
4. Bermain kata-kata
Sebelum bisa membaca, anak biasanya memperlihatkan kemampuan untuk bermain kata-kata secara verbal. Misalnya, ketika ibu berkata “sapi” maka anak bisa menjawab “topi” atau sejenisnya.
Atau, ibu juga bisa mencoba mengeja huruf dan melihat reaksi anak. Misalnya, ibu mengeja “m-a-k-a-n”, jika anak bisa menebak bahwa rangakaian huruf itu membentuk kata “makan”, maka anak ibu mungkin memang sudah siap untuk belajar membaca.
5. Mengenal sebagian huruf
Ketika anak sudah mengenal beberapa huruf, misalnya huruf-huruf yang menyusun namanya sendiri, mungkin itu pertanda anak sudah siap untuk belajar membaca sepenuhnya.
9 Cara Membantu Anak Pintar Membaca
Tidak ada cara belajar membaca yang lebih efektif bagi anak kecuali dengan dibantu oleh orang tuanya. Bersama ayah atau ibu, anak bisa lebih menikmati proses belajar membaca itu sendiri sambil membangun bonding.
Akademi Dokter Anak Amerika (AAP) menyebut bahwa membaca buku dengan suara lantang merupakan salah satu cara terbaik bagi orang tua untuk mengajarkan anak membaca. Semakin menyenangkan gaya membaca yang diperlihatkan oleh orang tua, semakin mudah anak untuk belajar membaca. Ketika membaca buku untuk anak, ada baiknya orang tua melakukan hal ini:
- Menunjuk kata di buku sesuai dengan kata yang ibu ucapkan. Dengan demikian, anak menjadi mengerti bahwa apa yang ibu ceritakan tertuang di dalam buku
- Gunakan juga suara-suara binatang atau mimik yang lucu agar anak lebih tertarik untuk mendengarkan cerita
- Tunjuk gambar di dalam buku cerita dan minta anak untuk menyebutkan nama gambar tersebut. Kemudian, ibu bisa menceritakan bahwa gambar tersebut masih merupakan satu kesatuan dengan alur cerita
- Sesekali, biarkan anak mengulang cerita sambil ibu mengarahkannya
- Hubungkan kisah di dalam buku dengan kehidupan anak sehari-hari
- Jika anak bertanya, ibu bisa menghentikan membaca cerita untuk menjawab pertanyaannya tersebut. Buku bisa jadi jembatan bagi anak untuk mengekspresikan pikirannya
- Ketika anak sudah bisa membaca, usahakan ibu tetap membacakan buku cerita kepada anak agar anak bisa memahami kisah yang lebih rumit lagi sehingga bisa terus mengambil pelajaran dari kisah tersebut.
Setelah menanamkan ketertarikan terhadap buku, ibu bisa menjalankan 4 tips dari AAP ini untuk membantu anak belajar membaca.
1. Konsisten
Sediakan waktu minimal satu kali setiap hari untuk membacakan buku kepada anak dan secara tidak langsung mendampinginya belajar membaca satu atau dua kata baru. Biasanya, anak suka dibacakan buku cerita sebelum tidur. Kegiatan sebelum tidur ini sekaligus bisa menjadi pelepas penat bagi orang tua dan anak setelah seharian beraktivitas.
2. Sediakan buku
Selalu sediakan buku di tempat yang mudah terjangkau oleh anak, bisa di kamarnya maupun di ruang bermainnya. Jangan lupa untuk mengutamakan keselamatan dengan menyediakan rak buku yang aman dan tempat membaca buku yang nyaman ya.
- Minat anak
Bacakan atau sediakan buku yang menarik minat anak mengingat setiap anak memiliki ketertarikan yang berbeda-beda. Jika anak dibacakan buku yang menarik baginya berulang-ulang, anak akan belajar membaca kata-kata dari buku favoritnya tersebut.
4. Jangan dipaksa
Biarkan anak belajar membaca sesuai dengan kemampuan dan kemauannya. Anak yang satu mungkin memiliki energi yang lebih banyak dibanding anak lain yang cepat bosan dalam belajar membaca. Setiap anak memiliki batasan berbeda. Mengajari anak membaca butuh waktu dan kesabaran sehingga anak tidak merasa stres dan frustrasi dalam proses belajar membaca.
5. Menyenangkan
Ibu bisa mengajarkan konsep huruf atau kata lewat cara yang menyenangkan, misalnya main tebak-tebakan dan bernyanyi. Ketika anak sudah menunjukkan raut lelah, ada baiknya ibu mengulangi pelatihan itu di hari lainnya.
6. Lantang
Ketika anak sudah mulai bisa membaca, biasakan ia untuk membaca dengan lantang, misalnya dengan bergantian membaca buku dongeng sebelum tidur. Kegiatan ini bisa menaikkan tingkat kepercayaan diri anak serta mengajarinya kosa kata baru ataupun menjawab pertanyaannya jika ada hal yang tidak ia mengerti.
7. Langsung bantu
Jika anak terlihat kesulitan menemukan kata yang tepat, ibu harus langsung membantu agar anak tidak kehilangan minat untuk terus membaca. Jangan paksa anak untuk mengeluarkan kata yang ia maksud jika memang tidak bisa, tapi jangan juga menyetop anak ketika ia tengah bercerita.
8. Mengganti kata
Jika anak mengganti kosa kata tertentu ketika membaca buku cerita, misalnya mengganti kata “kucing” dengan “si meong”, perhatikan apakah kata itu masuk akal. Jika menurut ibu masuk akal, tidak perlu mengoreksinya.
Namun jika melenceng jauh dari maksud kata yang asli, ibu bisa meminta anak untuk mengulang membaca atau mengeja kata tersebut sambil menjelaskan bahwa kata yang baru saja diucapkan oleh anak memiliki makna berbeda dibanding aslinya. Usahakan untuk tidak berkata “kamu salah” kepada anak.
9. Beri sanjungan
Untuk menjaga anak tetap semangat dalam belajar membaca, ibu harus memberi sanjungan sebagai reward atas keberhasilannya membaca satu kata baru. Tidak usah sungkan untuk menghujaninya dengan pujian karena ibu atau ayah merupakan guru pertamanya dan orang yang ingin dibuat bangga oleh anak. Banyak pujian juga bisa meningkatkan semangat anak untuk belajar banyak kosa kata baru.
Mengenal Disleksia
Ketika anak sudah mencapai usia sekolah, tapi masih juga tidak bisa membaca, ada baiknya ibu memeriksakan anak ke dokter karena ia mungkin mengidap disleksia. Disleksia adalah kondisi orang yang mengalami kesulitan dalam proses belajar membaca.
Tanda-tanda disleksia antara lain:
- Sulit mengulang kata yang sebetulnya telah mereka ketahui
- Kesulitan mengeja
- Kesulitan menulis
- Tidak bisa membaca kata dengan cepat
- Kesulitan mengeluarkan ekspresi yang cocok dengan kata tertulis
- Sulit memahami kata-kata tertulis
- Kesulitan membedakan huruf atau kata yang mirip, seperti ‘b’ dengan ‘d’ atau ‘pasar’ dengan ‘pagar’
- Kesulitan belajar bahasa asing.
Penderita disleksia bisa saja tidak memiliki semua tanda di atas, bisa saja mereka hanya memiliki satu atau dua tanda. Untuk itu, penting bagi orang tua melakukan screening langsung ke dokter.
Meskipun demikian, orang tua perlu mengetahui bahwa disleksia bukanlah kelainan intelektual maupun kelainan dalam proses tumbuh kembang anak. Disleksia juga bukan tanda bahwa anak tersebut mengalami degradasi intelegensia atau ketidakmampuannya untuk belajar. Disleksia hanyalah adanya kelainan gen pada anak yang menyebabkan ia sulit mengekspresikan apa yang dilihatnya secara tertulis.
Disleksia bisa disebabkan oleh keturunan, yakni ketika ibu hamil terpapar narkoba atau alkohol, atau bayi yang lahir prematur serta memiliki berat bada rendah. Ketika masih bayi, anak yang menderita disleksia mungkin mengalami keterlambatan berbicara (speech delay), meski tidak semua anak yang speech delay mengalami disleksia.
Untuk pengobatan disleksia, tidak ada obat minum yang bisa mengobati penyakit yang diduga diakibatkan oleh kelainan gen tersebut. Namun, orang tua bisa terus memberi semangat kepada anak agar tidak lelah untuk belajar membaca, menulis, maupun berhitung.
source; ibupedia.com